Di kedua matamu mungkin aku hanyalah keping-keping pecahan beling, yang tak mungkin kau susun ulang, digenggampun jarimu akan terluka
Cukuplah kiranya kau tahu bahwa aku meringkuk dibalik api yang kau sulut, tapi jangan sekali-kali mengadu gelak tawamu padanya sedang kau tak kenal siapa itu air yang memadamkannya
Luka yang kau berikan tertanggal pada tanah-tanah bukit, lalu tumbuh dan menyusup menjadi tembikar-tembikar yang kau jadikan wadah api unggunmu, pedihku tersisip dalam balok-balok kayu yang kau jadikan arang di apimu
Disaat aku sibuk untuk melupa, malam ini kupersilahkan tuan membaringkan tubuh pada dipan ternyaman, disisi perapian yang hangat, disandingkan kopi hitam yang masih memburai ampasnya
Sambil menunggu ampas kopi menimbun didasar cawan, Sulutlah tembakau tuan biar hilang penat di kepala, pandanglah sejenak mata api yang menyala biru disana, yang panasnya menembus hingga ubun-ubun.
Hisaplah tembakau tuan dalam-dalam hingga hembusan asapnya mengepul sampai langit-langit, lalu seruput pelan-pelan kopi yang masih terselip pahit disitu.
Lalu pejamkan mata sejenak, itulah aku yang melukaimu lewat beling-beling, yang tertindih tawa jahatmu, yang membakarmu lewat tumpukan arang, yang memandangmu lewat celah api hangatmu, yang mengepul liar ditiap-tiap batang kretekmu, serta pahit yang kau rasakan.
Bila kau bertanya bilamana semua ini terjadi, tanyakan pada mereka, adanya karena siapa
CC : Manusia dan Keadilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar