Ketika kau sudah berhadapan dengan apa yang ada dihadapanku, bahkan hampir menikamku tepat di hati sanubari, kuyakin, kau tak akan mampu.
Kesenangan lalu yang tak kusangka bakal terbungkus rapi menjadi bagian halaman-halaman hitam di sebuah kitab bersampul duri.
Hembus angin malam purnama menusuk hingga relung jantung,menghambat saluran darah, aku menimba tirta mata seraya berkata, hancurkanlah aku.
Aku pernah merasa tak sehampa ini, ketika ku mengabaikan cahaya Nya. Padahal, Ia yang menghantarkanku pada tujuan yang jauh dari apa yang ku panjatkan.
Ketika mata hati sudah tertutup gumpalan awan hitam, pekat, terombang-ambing oleh sayuan badai angkasa, lalu, kugapai cahaya indah di baliknya, mana tau cahaya indah itu dapat menyelamatkanku.
Namun sayang, itu bukan bintang, itu kilat yang menyambarku hingga jatuh tak terbendung daratan. Meleburkan seluruh ingatan bahwa aku pernah berjumpa dengan sang pematah hati.
Kusalahkan jagat raya, kugunjing apa itu cinta. tapi Dia masih menyapaku dengan senyum seakan berkata, akulah pusat kesalahan, akulah yang menyalahi aturan semesta. Dia mencemburui diriku dengan dirinya.
Cinta yang seharusnya memikat bak surga dunia, anugerah terindah yang memabukan pemiliknya akan menjerit kesakitan saat diperlakukan seperti itu.
Kini ku melangkah mundur, mencari persinggahan, lalu kukembalikan hak untuk si cinta hingga kuambil kembali pada waktu yang tepat. Bukan ku tak iri melihat sejawat melenggak-lenggok bersama rangkai hatinya di hari bahagia.
Aku hanya ingin merasakan uforia cinta yang paripurna di ujung senjaku bukan yang semu seperti itu.
Kelak kalian akan melihatku menari-nari di udara bersama bunga di musim semi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar