Malam itu aku hendak bertolak ke Cianjur, niatku untuk mengadakan
penelitian mengenai pertanian hendak kuselesaikan, mau tak mau aku harus
berangkat malam ini juga. Kurapikan beberapa pakaian yang akan kukenakan, tak
terlalu banyak hanya untuk lima hari dan beruntungnya aku tak harus memikirkan
dimana aku akan singgah. Seingatku, Suratman kawan lamaku, ia masih tinggal di
Cianjur. tanpa berfikir panjang dengan cepat kurapikan seisi kamar kostku,
setelah semua selesai dengan segera aku bergegas menuju terminal bus yang hanya
berjarak seratus meter dari rumah kostku, tak perlu menggunakan kendaraan cukup
dengan berjalan cepat karena rintikan air hujan hampir membasahi pakaianku, aku
sangat berharap bus jurusan Bandung-Cianjur masih ada, mengingat sangat mustahil
jika masih ada jadwal pemberangkatan pukul 22:00.
Kupandang seluruh sudut terminal yang tampak sangat kumuh, banyak
sampah koran bekas dan sampah plastik, tidak ada orang disana hanya ada dua
buah lampu gantung yang usang menerangi tempat ini. Aku berusaha
mengetuk-ngetuk kaca loket.
"tok
tok tok, permisi Teteh ... Bang
... " ucapku. Teteh
adalah sapaan kepada wanita sunda
"ada apa malam-malam begini ?"
tanya petugas loket dengan kasar, wajahnya kusut, rambutnya panjang terurai dan
bertubuh tambun
"emm, maaf teh apa masih ada bus jurusan
Cianjur ?" harapku
"sebentar saya lihat jadwalnya
dahulu" tukas petugas loket dengan ekspresi wajah datar
"ada nih, besok pagi jam sembilan, mau pesan berapa tiket
?" jawab petugas loket dengan nada slengean.
"eh eh bukan teh, saya butuhnya malam
ini" sahutku dengan panik
"yang benar saja mas, mana ada bus malam tanggung
begini" jawab petugas loket dengan nada tinggi.
Batinku sudah tak kuat menghadapi orang seperti ini, pantas saja
tempat ini sepi, mungkin tidak ada yang kuasa menghadapi petugas semacam itu,
pikirku sambil menyinyir. "yasudah
kalau tidak butuh uang" tegasku.
Buru-buru kubalikkan tubuh ini jauh-jauh dari loket tersebut, baru
tiga langkah kuberjalan terdengar panggilan dari belakang,
"eh
eh eh mas mas, tunggu dulu" seru petugas loket
"apa
lagi nyonya ?" sahutku dengan malas
"mau nggak ? tapi tunggu satu jam lagi"
jawab petugas loket
Sebenarnya aku sudah malas tapi tak apalah daripada menunggu
sampai besok pagi, lagipula penelitian ini harus segera kuselesaikan, lalu
kuputarkan tubuh ku mengarah ke loket dan kembali ke loket tersebut.
"yasudah
teh nggak apa-apa" ucapku
"oke
deh nama mas siapa ?" tanya petugas loket dengan wajah agak gembira
seperti baru saja memenangkan undian.
"Heriyanto"
jawabku singkat.
Diberikannya padaku sepotong kertas berwarna kuning, "nih mas busnya
Bima Ayu bayarnya diatas saja, tunggu saja disini satu jam lagi busnya
datang" ujarnya
"terimakasih"
jawabku
Lalu aku bergegas mencari bangku yang sekiranya nyaman untuk
menunggu, kukeluarkan ponselku untuk sekadar menemaniku, tidak ada hal pasti
yang kulakukan hanya memencet-mencet tombol diponselku, aku mulai merasa jenuh,
hembusan angin malam yang menusuk ini, heningnya suasana dari hiruk pikuk
sehari-hari ditambah suara jangkrik yang sekan-akan berpadu suara menyanyikan lagu
hipnotis yang membuatku mengantuk.
Dalam keadaan setengah sadar dengan posisi kepala tertunduk hampir
menyundul meja terdengar suara seretan kaki.
"sret
... sret ..." dengan pandangan samar-samar yang kulihat hanya anak
laki-laki kecil memakai kaos berwarna merah lusuh dan celana pendek yang sudah
robek-robek dan bongkahan besar dipunggungnya.
Seketika
aku terbangun dan sejenak mengucek mataku untuk memastikan apa yang sebenarnya
kulihat, penasaran dengan sosok bocah tersebut tanpa ragu-ragu lalu
kupanggilnya.
"Dik
! Adik ! sedang apa kamu disana ?" tanyaku dengan suara serak
Anak tersebut sama sekali tidak menggubris pertanyaanku, lalu
kulemparkan botol air mineral bekas kearah anak tersebut.
"hey
anak kecil! buat apa kau malam-malam begini masih berkeliaran ?" tanyaku
dengan emosi.
Sejenak aku berfikir buat apa aku mengurusi anak tidak jelas itu,
kutengokkan kepala kearah jam dinding disudut terminal, waktu menunjukan pukul
22:40 masih ada waktu duapuluh menit untuk melampiaskan rasa kantukku sebelum
bus datang, kulipatkan kedua tanganku keatas meja dan kutempelkan dahiku keatas
tanganku.
Akupun terlelap, baru saja semenit-dua menit aku tertidur
tiba-tiba ada yang menimpukku dari belakang sontak kuterbangun.
"saya
bukan penjahat pak, yang harus kau timpuki dengan botol plastik ini" seru
anak kecil itu, Ia terlihat sangat tersinggung sekali karna telah kulempari
dengan botol plastik
Sejenak aku termenung, kukira tidak setajam ini efek dari
lemparanku, niatkukan hanya ingin bertanya, lalu salahku hingga anak ini segitu
tidak terimanya ?
"hey
bukan itu maksudku aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan" jelasku
sambil menguap
"oh
begitu cara Bapak berinteraksi dengan orang baru ? saya memang orang lemah Pak,
tapi saya juga manusia yang harus diperlakukan dengan cara manusia"
geretak anak tersebut.
Pikirku ada apa dengan anak ini "hey bocah tengil aku
minta maaf kalau kau tersinggung, tapi tolong jangan panggil aku bapak panggil
aku abang saja" tambahku.
"lalu
apa yang kau lakukan malam hari seperti ini ?" tanyaku padanya sambil
kuletakkan kepalaku diatas meja agar tetap dapat memandangnya.
"mencari
nafkah bang" jawabnya dengan wajah memelas
"mencari
nafkah ? memangnya orang tuamu kemana ?" lanjutku
Anak itu terdiam dan mengambil posisi duduk disampingku, kupandang
anak itu wajahnya yang kekanak-kanakan penuh dengan noda semakin terpancar oleh sorotan lampu gantung
terminal
"ada
dikampung" matanya tertuju pada tepi jalan diseberang sana
"memulung
?" tidak adakah pekerjaan lain ?" tanyaku
"apa
yang bisa dilakukan anak seusiaku yang seharusnya masih duduk dikelas lima SD ?
hanya ini yang bisa kulakukan" geretak anak tersebut sambil berdiri.
Tidak lama kemudian terdengar suara klakson bus.
"mungkin
itu bus yang abang tunggu" Anak itu segera melangkahkan kakinya dan
pergi menuju lorong terminal dibelakang sana, semakin Ia berjalan jauh, semakin
hilang sinarnya, hilang ditelan kegelapan, tanpa meninggalkan salam ataupun
nama.
Kuambil tas ranselku dan segera menuju busku, kucari kursi yang
kosong, kuletakan tas ranselku, lega rasanya sudah berada didalam bus, aku akan
melanjutkan tidurku. Kuletakan dahiku kesandaran kursi didepanku.
Aku baru merasakan tidur selama sepuluh menit terdengar suara uang
koin yang melompat-lompat. Kulihat sesososok bayangan manusia memakai kaos
berwarna ungu bergambarkan foto calon legislatif nomor 2 itu menghampiriku.
"mas
mas .. ongkosnya mas mas " pinta lelaki itu
Aku segera tersadar dan merogoh kantong celanaku
"berapa
mang ?" tanyaku
"kemana
? cihideung ?" tanyanya kembali
"iya
ya" sahutku cepat
"tigapuluh
ribu" jawabnya
Kuberikan padanya selembar uang kertas duapuluh ribuan dan
selembar uang kertas sepuluh ribuan "kapan kira-kira bisa sampai ?"
tanyaku
"sekitar
jam dua" jawabnya.
Wah jika jam dua malam sampai sana, mau kemana aku ? mau langsung
menghampiri rumah Suratman ? ah rasanya tidak sopan sekali mending kuhubungi
dia saja untuk sekadar memberi tahu. Kuambil ponselku lalu mencari kontak
Suratman sepuluh detik yang kudengar hanya suara operator service berbicara
tanda ponsel beliau tidak aktif, aku seakan tidak peduli akan hal itu lalu aku
melanjutkan tidurku.
Sekiranya aku sudah tidur lebih dari dua jam aku sudah tidak
merasakan goncangan yang sedari tidurku tadi masih dapat kurasakan. Terdengar
suara kenek berteriak, Cihideung Cihideung yoo ... Aku terperanjat dari dudukku
lalu sambil mengambil tas ranselku ku hela nafasku sebentar untuk mengembalikan
nyawaku.
Tiba-tiba aku teringat kembali dimana aku akan menginap malam ini
? Sepi sekali disini, kulihat hanya ada beberapa lelaki bertato sedang berkumpul
tak lupa sebatang rokok menyelip diantara jari telunjuk dan jari tengah mereka.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengagetkanku yang sedang memasang tubuh siap
siaga ini dari belakang, lelaki tua dengan handuk kecil yang tersampir
dibahunya serta gendongan berisi dagangan didepan dadanya.
"rokok
Jang ?" tawar si pedagang asongan, diriku masih berjaga-jaga kalau-kalau
yang sedang kutemui ini adalah orang jahat
"oh
tidak pak" jawabku singkat tanpa menengokkan sedikit kepalaku atau
sekadar meninggalkan senyum kepadanya.
"mau
kemana ini jang ?" tanyanya kembali. Entah mengapa aku semakin curiga
dengan orang ini
"ah
bukan urusan bapak" jawabku kesal
"yaa
saya kan cuma nanya" balasnya
Aku kembali meraih ponselku dan kembali menghubungi Suratman
tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku pikir dengan nada bicaranya yang
santai dengan senyuman diwajahnya orang ini adalah orang baik, ada baiknya bila
kutanyakan hal ini pada orang itu. "pak pak" tanyaku pada pedagang
asongan
"apa
jang ? katanya bukan urusan saya ?" tanyanya sambil menggoda
"bukan
gitu maksud saya, saya cuma sedang bingung" jawabku merasa tidak enak.
"bingung
kenapa" tanyanya penasaran
"bapak
tahu alamat ini ?' tanyaku sambil memperlihatkan secarik kertas bertuliskan
alamat rumah Suratman.
"oh
saya mah tahu, ini alamat tetangga saya" jawabnya
"bisa
antar saya kesana ?" pintaku
"mau
apa kesana ?" tannyanya lagi
"saya
mau menginap dirumah Suratman" tegasku
"tapi
pak Suratmannya sudah pindah sejak tiga bulan yang lalu, rumahnya terbakar"
si pedagang asongan bercerita.
Kebakaran ? lalu dimana aku akan singgah ? pikirku dalam hati.
"kalau
mau menginap dirumah saya saja dulu" tawarnya
Aku berfikir sejenak, em yasudahlah daripada malam hari begini aku
luntang-lantung sendirian, baru beberapa saat yang lalu aku menyimpan curiga
terhadap orang ini sekarang aku benar-benar berharap akan kemurahan hatinya.
"baik
pak saya ingin menginap dirumah Bapak hanya untuk semalam" jawabku dengan
senyum merekah.
"baiklah
mari ikut saya " ajak si pedagang asongan.
Aku mengikuti perjalanan pedagang asongan ini, ditemani dengan sinar
sang dewi malam aku bercerita apa maksudku ke Cianjur.
"namamu
siapa jang ?" tanyanya
"Heriyanto
pak, bapak ?" jawabku
"oh
saya usman, hendak apa ujang kemari
?"
"saya
ingin melakukan penelitian kecil-kecilan tentang pertanian" ujarku
Rumah pak Usman hanya berjarak dua ratus meter dari terminal tak
terasa kami sudah tiba, kulihat rumah pak Usman dindingnya hanya terbuat dari
anyaman bambu yang sudah reot atapnya pun banyak yang bolong.
"maaf
yah jang rumah bapak jelek” ujarnya.
"tidak
apa-apa pak" jawabku.
Aku masuk dan dipersilakan untuk istirahat. Ditengah keheningan
malam yang semakin larut aku diantarkan kedalam alam mimpi yang sangat dalam
oleh suara-suara kodok itu, dalam, dalam, dan semakin dalam.
Saking dalamnya aku terjatuh dalam buaian sang dewi malam sampai –sampai
sulit sekali untukku menanjak kepermukaan sedangkan sang fajar sudah berseri di
ufuk timur. Aku terkejut ada yang membangunkanku dengan percikan air. Ternyata
anak laki-laki yang tak asing lagi dimataku.
"kau
!" hentakku
"apa
yang abang lakukan dirumahku ?” tanyanya dengan wajah sinis.
"rumahku
?” berarti ini rumahnya , anak kecil
yang semalam kutemui di terminal.
"bagaimana
kau bisa lebih cepat sampai daripadaku ?" tanyaku penasaran.
"aku
menumpang mobil bak terbuka pengangkut kambing" ujarnya.
"oh"
aku kembali tertidur dikursi tua dan sudah hampir ambruk ini.
"ayo
bangun bang malas sekali kau !” serunya sambil menarik-narik tanganku.
"iya
iya" aku terperanjak dari kursi itu lalu pergi mandi.
Setelah selesai mandi aku ingin mencari lahan pertanian yang
hendak kujadikan objek penelitian.
"hey
bocah kecil !" seruku.
"namaku
Syaifudin" tegasnya.
"Syaifudin
ayo temani aku berkeliling" pintaku.
"ayo"
jawabnya singkat.
Aku mengikuti bocah kecil ini, alisku naik sebelah seakan tidak
yakin kepada anak ini.
"nama
abang siapa ?" tanyanya sambil berjalan melompat kegirangan
"siapa
? aku ? Heriyanto" jawabku sambil menyentuh ilalang disepanjang tepi
jalan.
Kulihat sekeliling desa ini dan menghirup udara yang lebih segar
daripada udara di Bandung.
"kau
tidak sekolah ?" tanyaku.
Ia pun mendadak berhenti dan menjawab "tidak,
abah tidak sanggup membiayai" sambil menendang kerikil kecil dihadapannya.
"lalu
?" lanjutku
"tidak
apa-apa, aku tidak menganggapnya sebagai bencana terbesar yang menerjangku"
ujarnya, aku bisa melihat linangan ari matanya, aku bisa merasakan kesedihan
dibalik senyum riang yang menggoda itu.
"kalau
kau tidak sekolah bagaimana kau bisa sukses ?" tanyaku
"sukses
itu tidak selalu dilambangkan dengan materi bang" ujarnya
"maksudmu
?" tanyaku penasaran
"pengabdian
kita dengan Tuhan sudah maksimal saja sudah disebut sukses " ujar Syaifudin yang
menatap kearah langit biru yang membentang diatas sana.
"lalu
bagaimana kau bisa menikmati hidup ini ?" tanyaku meremehkan.
"ini
sedang kunikmati" jawabnya dengan nada petantang-petenteng dan Ia
menjulurkan lidah kepadaku.
"hah
? apa yang kau nikmati " tanyaku.
"Bang,
aku berfikir hidup ini membutuhkan matahari yang sangat panas dan hujan yang
sangat deras untuk melihat pelangi jadi buat apa mengeluh" kata –katanya menamparku.
Ampun deh aku mahasiswa fakultas pertanian di universitas ternama
yang sudah semester enam kalah kata-kata dengan bocah tengil dekil ini, apa
sikapku selama ini masih salah ?
"abang
tidak berharap ada matahari terik dihidupku" ujarku menyambung pembicaraan
"itu
penyakit hati bang", jawabnya dengan tampang perlente, Syaifudin
melanjutkan perjalanan meninggalkan diriku yang kebingungan ini.
Jalan tanah berkerikil kususuri, disamping kanan dan kiri jalan
banyak anak bermain dengan riangnya. Tiba-tiba ada yang menghampiriku,
“kak
minta sedekahnya kak" ujar anak itu , anak perempuan berwajah kusam berambut
pirang menyodorkan tangannya padaku.
"tidak,
mana ibumu ? tega sekali Ia menyuruhmu mengemis, pergi sana !" hentakku kasar. Anak
perempuan itupun ketakutan. Syaifudin menahanku lalu Ia memanggil anak kecil
itu.
"sini
Dik !" panggil Syaifudin
Syaifudin memberinya selembar uang dua ribu
"untuk
apa kau memeberinya uang sedang kau saja membutuhkan uang ?" gerutuku
"selagi
kita punya rezeki bagaimana mungkin aku melihat orang lain kesusahan"
Lagi-lagi sikapku dikalahkan oleh bocah ini. Syaifudin memang
benar disaat Ia sedang kesusahan Ia masih sempat menjadikan dirinya berguna
untuk orang lain.
"dimana
lahan pertaniannya ?" tanyaku.
"itu"
sahutnya.
Kuhampiri sawah tersebut dan menghampiri pemilik sawah tersebut.
"pagi
pak" sapaku.
"pagi
nak, anda yang mau melakukan riset disini yah ?" tanya si pemilik sawah.
"betul
pak, boleh ?" tanyaku.
"oh
tentu boleh" jawabnya.
Aku tertarik melihat sistem irigasi disini "pak Tatang
bagaimana sistem irigasi disini ?" tanyaku penasaran.
"sistem irigasi disini sangat baik,
air terus mengalir sehingga pertanian disini dapat melakukan tiga kali panen
dalam setahun" ujarnya.
"wah
hebat sekali pak" jawabku dengan heran dan berdecak kagum.
"ini
berkat nak Syaifudin" ujar pak tatang.
Syaifudin ? aku heran apa maunya anak ini seakan dia ingin
menunjukan kehebatannya padaku.
"memang
apa yang syaifudin lakukan ?"
"Syaifudin
yang membuat irigasi ini sedemikian rupa” ujarnya sambil menepuk-nepuk
bahu Syaifudin.
Hebat sekali Syaifudin, setelah berkeliling sawah aku hendak berdebat
kembali dengan Syaifudin. “din bagaimana bisa kau punya ide seperti itu ?” tanyaku
penasaran.
“dulu
sistem perairan kami kacau dan mengakibatkan desa kami kekeringan itu membuatku
tergerak untuk melakukan hal ini" jawabnya dengan polos
"din
aku mau tanya menurutmu sukses itu apa ? " tanyaku menguji
"menurutku
sukses itu dimana kita bisa berguna untuk orang lain bang" ujarnya.
Syaifudin menyadarkanku betapa indahnya kerendahan hati. Selama
ini sikapku masih salah aku banyak belajar dari perbuatan Syaifudin sejak aku
bertemu diterminal hingga saat ini. Seakan-akan aku tak mau kembali, aku ingin
tinggal dengan Syaifudin yang telah memberiku pelajaran berharga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar