Sabtu, 08 Oktober 2016

ILMU BUDAYA DASAR DIKAITKAN DENGAN PROSA ; CERPEN : MENTARI DIUFUK TIMUR

Malam itu aku hendak bertolak ke Cianjur, niatku untuk mengadakan penelitian mengenai pertanian hendak kuselesaikan, mau tak mau aku harus berangkat malam ini juga. Kurapikan beberapa pakaian yang akan kukenakan, tak terlalu banyak hanya untuk lima hari dan beruntungnya aku tak harus memikirkan dimana aku akan singgah. Seingatku, Suratman kawan lamaku, ia masih tinggal di Cianjur. tanpa berfikir panjang dengan cepat kurapikan seisi kamar kostku, setelah semua selesai dengan segera aku bergegas menuju terminal bus yang hanya berjarak seratus meter dari rumah kostku, tak perlu menggunakan kendaraan cukup dengan berjalan cepat karena rintikan air hujan hampir membasahi pakaianku, aku sangat berharap bus jurusan Bandung-Cianjur masih ada, mengingat sangat mustahil jika masih ada jadwal pemberangkatan pukul 22:00.

Kupandang seluruh sudut terminal yang tampak sangat kumuh, banyak sampah koran bekas dan sampah plastik, tidak ada orang disana hanya ada dua buah lampu gantung yang usang  menerangi tempat ini. Aku berusaha mengetuk-ngetuk kaca loket.
        "tok tok tok, permisi Teteh ... Bang ... " ucapku. Teteh adalah sapaan kepada wanita sunda 
       "ada apa malam-malam begini ?" tanya petugas loket dengan kasar, wajahnya kusut, rambutnya panjang terurai dan bertubuh tambun
           "emm, maaf teh apa masih ada bus jurusan Cianjur ?" harapku
       "sebentar saya lihat jadwalnya dahulu" tukas petugas loket dengan ekspresi wajah datar
        "ada nih, besok pagi jam sembilan, mau pesan berapa tiket ?" jawab petugas loket dengan nada slengean.
         "eh eh bukan teh, saya butuhnya malam ini" sahutku dengan panik
        "yang benar saja mas, mana ada bus malam tanggung begini" jawab petugas loket dengan nada tinggi.

Batinku sudah tak kuat menghadapi orang seperti ini, pantas saja tempat ini sepi, mungkin tidak ada yang kuasa menghadapi petugas semacam itu, pikirku sambil menyinyir. "yasudah kalau tidak butuh uang" tegasku.

Buru-buru kubalikkan tubuh ini jauh-jauh dari loket tersebut, baru tiga langkah kuberjalan terdengar panggilan dari belakang,
        "eh eh eh mas mas, tunggu dulu" seru petugas loket
        "apa lagi nyonya ?" sahutku dengan malas
        "mau nggak ? tapi tunggu satu jam lagi" jawab petugas loket
Sebenarnya aku sudah malas tapi tak apalah daripada menunggu sampai besok pagi, lagipula penelitian ini harus segera kuselesaikan, lalu kuputarkan tubuh ku mengarah ke loket dan kembali ke loket tersebut.
        "yasudah teh nggak apa-apa" ucapku 
     "oke deh nama mas siapa ?" tanya petugas loket dengan wajah agak gembira seperti baru saja memenangkan undian.
        "Heriyanto" jawabku singkat.

Diberikannya padaku sepotong kertas berwarna kuning, "nih mas busnya Bima Ayu bayarnya diatas saja, tunggu saja disini satu jam lagi busnya datang" ujarnya
        "terimakasih" jawabku

Lalu aku bergegas mencari bangku yang sekiranya nyaman untuk menunggu, kukeluarkan ponselku untuk sekadar menemaniku, tidak ada hal pasti yang kulakukan hanya memencet-mencet tombol diponselku, aku mulai merasa jenuh, hembusan angin malam yang menusuk ini, heningnya suasana dari hiruk pikuk sehari-hari ditambah suara jangkrik yang sekan-akan berpadu suara menyanyikan lagu hipnotis yang membuatku mengantuk.

Dalam keadaan setengah sadar dengan posisi kepala tertunduk hampir menyundul meja terdengar suara seretan kaki.
        "sret ... sret ..." dengan pandangan samar-samar yang kulihat hanya anak laki-laki kecil memakai kaos berwarna merah lusuh dan celana pendek yang sudah robek-robek dan bongkahan besar dipunggungnya.

Seketika aku terbangun dan sejenak mengucek mataku untuk memastikan apa yang sebenarnya kulihat, penasaran dengan sosok bocah tersebut tanpa ragu-ragu lalu kupanggilnya.
        "Dik ! Adik ! sedang apa kamu disana ?" tanyaku dengan suara serak
Anak tersebut sama sekali tidak menggubris pertanyaanku, lalu kulemparkan botol air mineral bekas kearah anak tersebut.
        "hey anak kecil! buat apa kau malam-malam begini masih berkeliaran ?" tanyaku dengan emosi.

Sejenak aku berfikir buat apa aku mengurusi anak tidak jelas itu, kutengokkan kepala kearah jam dinding disudut terminal, waktu menunjukan pukul 22:40 masih ada waktu duapuluh menit untuk melampiaskan rasa kantukku sebelum bus datang, kulipatkan kedua tanganku keatas meja dan kutempelkan dahiku keatas tanganku.

Akupun terlelap, baru saja semenit-dua menit aku tertidur tiba-tiba ada yang menimpukku dari belakang sontak kuterbangun.
        "saya bukan penjahat pak, yang harus kau timpuki dengan botol plastik ini" seru anak kecil itu, Ia terlihat sangat tersinggung sekali karna telah kulempari dengan botol plastik

Sejenak aku termenung, kukira tidak setajam ini efek dari lemparanku, niatkukan hanya ingin bertanya, lalu salahku hingga anak ini segitu tidak terimanya ?
        "hey bukan itu maksudku aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan" jelasku sambil menguap
        "oh begitu cara Bapak berinteraksi dengan orang baru ? saya memang orang lemah Pak, tapi saya juga manusia yang harus diperlakukan dengan cara manusia" geretak anak tersebut.

Pikirku ada apa dengan anak ini  "hey bocah tengil aku minta maaf kalau kau tersinggung, tapi tolong jangan panggil aku bapak panggil aku abang saja" tambahku.

      "lalu apa yang kau lakukan malam hari seperti ini ?" tanyaku padanya sambil kuletakkan kepalaku diatas meja agar tetap dapat memandangnya.
        "mencari nafkah bang" jawabnya dengan wajah memelas
        "mencari nafkah ? memangnya orang tuamu kemana ?" lanjutku

Anak itu terdiam dan mengambil posisi duduk disampingku, kupandang anak itu wajahnya yang kekanak-kanakan penuh dengan noda  semakin terpancar oleh sorotan lampu gantung terminal
        "ada dikampung" matanya tertuju pada tepi jalan diseberang sana
        "memulung ?" tidak adakah pekerjaan lain ?" tanyaku
     "apa yang bisa dilakukan anak seusiaku yang seharusnya masih duduk dikelas lima SD ? hanya ini yang bisa kulakukan" geretak anak tersebut sambil berdiri.

Tidak lama kemudian terdengar suara klakson bus.
     "mungkin itu bus yang abang tunggu"  Anak itu segera melangkahkan kakinya dan pergi menuju lorong terminal dibelakang sana, semakin Ia berjalan jauh, semakin hilang sinarnya, hilang ditelan kegelapan, tanpa meninggalkan salam ataupun nama.

Kuambil tas ranselku dan segera menuju busku, kucari kursi yang kosong, kuletakan tas ranselku, lega rasanya sudah berada didalam bus, aku akan melanjutkan tidurku. Kuletakan dahiku kesandaran kursi didepanku.

Aku baru merasakan tidur selama sepuluh menit terdengar suara uang koin yang melompat-lompat. Kulihat sesososok bayangan manusia memakai kaos berwarna ungu bergambarkan foto calon legislatif nomor 2 itu menghampiriku.
        "mas mas .. ongkosnya mas mas " pinta lelaki itu

Aku segera tersadar dan merogoh kantong celanaku 
        "berapa mang ?" tanyaku
        "kemana ? cihideung ?" tanyanya kembali
        "iya ya" sahutku cepat
        "tigapuluh ribu" jawabnya
Kuberikan padanya selembar uang kertas duapuluh ribuan dan selembar uang kertas sepuluh ribuan "kapan kira-kira bisa sampai ?" tanyaku
        "sekitar jam dua" jawabnya.

Wah jika jam dua malam sampai sana, mau kemana aku ? mau langsung menghampiri rumah Suratman ? ah rasanya tidak sopan sekali mending kuhubungi dia saja untuk sekadar memberi tahu. Kuambil ponselku lalu mencari kontak Suratman sepuluh detik yang kudengar hanya suara operator service berbicara tanda ponsel beliau tidak aktif, aku seakan tidak peduli akan hal itu lalu aku melanjutkan tidurku.

Sekiranya aku sudah tidur lebih dari dua jam aku sudah tidak merasakan goncangan yang sedari tidurku tadi masih dapat kurasakan. Terdengar suara kenek berteriak, Cihideung Cihideung yoo ... Aku terperanjat dari dudukku lalu sambil mengambil tas ranselku ku hela nafasku sebentar untuk mengembalikan nyawaku.

Tiba-tiba aku teringat kembali dimana aku akan menginap malam ini ? Sepi sekali disini, kulihat hanya ada beberapa lelaki bertato sedang berkumpul tak lupa sebatang rokok menyelip diantara jari telunjuk dan jari tengah mereka. Tiba-tiba ada seseorang yang mengagetkanku yang sedang memasang tubuh siap siaga ini dari belakang, lelaki tua dengan handuk kecil yang tersampir dibahunya serta gendongan berisi dagangan didepan dadanya.

       "rokok Jang ?" tawar si pedagang asongan, diriku masih berjaga-jaga kalau-kalau yang sedang kutemui ini adalah orang jahat
        "oh tidak pak" jawabku singkat tanpa menengokkan sedikit kepalaku atau sekadar meninggalkan senyum kepadanya.
        "mau kemana ini jang ?" tanyanya kembali. Entah mengapa aku semakin curiga dengan orang ini
        "ah bukan urusan bapak" jawabku kesal
        "yaa saya kan cuma nanya" balasnya

Aku kembali meraih ponselku dan kembali menghubungi Suratman tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Aku pikir dengan nada bicaranya yang santai dengan senyuman diwajahnya orang ini adalah orang baik, ada baiknya bila kutanyakan hal ini pada orang itu. "pak pak" tanyaku pada pedagang asongan
        "apa jang ? katanya bukan urusan saya ?" tanyanya sambil menggoda
      "bukan gitu maksud saya, saya cuma sedang bingung" jawabku merasa tidak enak.
        "bingung kenapa" tanyanya penasaran
        "bapak tahu alamat ini ?' tanyaku sambil memperlihatkan secarik kertas bertuliskan alamat rumah Suratman.
        "oh saya mah tahu, ini alamat tetangga saya" jawabnya
        "bisa antar saya kesana ?" pintaku
        "mau apa kesana ?" tannyanya lagi
        "saya mau menginap dirumah Suratman" tegasku
        "tapi pak Suratmannya sudah pindah sejak tiga bulan yang lalu, rumahnya terbakar" si pedagang asongan bercerita.

Kebakaran ? lalu dimana aku akan singgah ? pikirku dalam hati.
        "kalau mau menginap dirumah saya saja dulu" tawarnya
Aku berfikir sejenak, em yasudahlah daripada malam hari begini aku luntang-lantung sendirian, baru beberapa saat yang lalu aku menyimpan curiga terhadap orang ini sekarang aku benar-benar berharap akan kemurahan hatinya.
        "baik pak saya ingin menginap dirumah Bapak hanya untuk semalam" jawabku dengan senyum merekah.
        "baiklah mari ikut saya " ajak si pedagang asongan.

Aku mengikuti perjalanan pedagang asongan ini, ditemani dengan sinar sang dewi malam aku bercerita apa maksudku ke Cianjur.
        "namamu siapa jang ?" tanyanya
        "Heriyanto pak, bapak ?" jawabku
        "oh saya usman, hendak  apa ujang kemari ?"
        "saya ingin melakukan penelitian kecil-kecilan tentang pertanian" ujarku

Rumah pak Usman hanya berjarak dua ratus meter dari terminal tak terasa kami sudah tiba, kulihat rumah pak Usman dindingnya hanya terbuat dari anyaman bambu yang sudah reot atapnya pun banyak yang bolong.
        "maaf yah jang rumah bapak jelek” ujarnya.
        "tidak apa-apa pak" jawabku.

Aku masuk dan dipersilakan untuk istirahat. Ditengah keheningan malam yang semakin larut aku diantarkan kedalam alam mimpi yang sangat dalam oleh suara-suara kodok itu, dalam, dalam, dan semakin dalam.

Saking dalamnya aku terjatuh dalam buaian sang dewi malam sampai –sampai sulit sekali untukku menanjak kepermukaan sedangkan sang fajar sudah berseri di ufuk timur. Aku terkejut ada yang membangunkanku dengan percikan air. Ternyata anak laki-laki yang tak asing lagi dimataku.
        "kau !" hentakku
        "apa yang abang lakukan dirumahku ?” tanyanya dengan wajah sinis.
        "rumahku ?”  berarti ini rumahnya , anak kecil yang semalam kutemui di terminal.
        "bagaimana kau bisa lebih cepat sampai daripadaku ?" tanyaku penasaran.
        "aku menumpang mobil bak terbuka pengangkut kambing" ujarnya.
        "oh" aku kembali tertidur dikursi tua dan sudah hampir ambruk ini.
    "ayo bangun bang malas sekali kau !” serunya sambil menarik-narik tanganku.
        "iya iya" aku terperanjak dari kursi itu lalu pergi mandi.

Setelah selesai mandi aku ingin mencari lahan pertanian yang hendak kujadikan objek penelitian.
        "hey bocah kecil !" seruku.
        "namaku Syaifudin" tegasnya.
        "Syaifudin ayo temani aku berkeliling" pintaku.
        "ayo" jawabnya singkat.
Aku mengikuti bocah kecil ini, alisku naik sebelah seakan tidak yakin kepada anak ini.
        "nama abang siapa ?" tanyanya sambil berjalan melompat kegirangan
      "siapa ? aku ? Heriyanto" jawabku sambil menyentuh ilalang disepanjang tepi jalan.

Kulihat sekeliling desa ini dan menghirup udara yang lebih segar daripada udara di Bandung.
        "kau tidak sekolah ?" tanyaku.
Ia pun mendadak berhenti dan menjawab "tidak, abah tidak sanggup membiayai" sambil menendang kerikil kecil dihadapannya.
        "lalu ?" lanjutku
        "tidak apa-apa, aku tidak menganggapnya sebagai bencana terbesar yang menerjangku" ujarnya, aku bisa melihat linangan ari matanya, aku bisa merasakan kesedihan dibalik senyum riang yang menggoda itu.
        "kalau kau tidak sekolah bagaimana kau bisa sukses ?" tanyaku
        "sukses itu tidak selalu dilambangkan dengan materi bang" ujarnya
        "maksudmu ?" tanyaku penasaran 
        "pengabdian kita dengan Tuhan sudah maksimal saja sudah disebut sukses " ujar Syaifudin yang menatap kearah langit biru yang membentang diatas sana.
        "lalu bagaimana kau bisa menikmati hidup ini ?" tanyaku meremehkan.
        "ini sedang kunikmati" jawabnya dengan nada petantang-petenteng dan Ia menjulurkan lidah kepadaku.
        "hah ? apa yang kau nikmati " tanyaku. 
       "Bang, aku berfikir hidup ini membutuhkan matahari yang sangat panas dan hujan yang sangat deras untuk melihat pelangi jadi buat apa mengeluh" kata –katanya menamparku.

Ampun deh aku mahasiswa fakultas pertanian di universitas ternama yang sudah semester enam kalah kata-kata dengan bocah tengil dekil ini, apa sikapku selama ini masih salah ? 
        "abang tidak berharap ada matahari terik dihidupku" ujarku menyambung pembicaraan
        "itu penyakit hati bang", jawabnya dengan tampang perlente, Syaifudin melanjutkan perjalanan meninggalkan diriku yang kebingungan ini.

Jalan tanah berkerikil kususuri, disamping kanan dan kiri jalan banyak anak bermain dengan riangnya. Tiba-tiba ada yang menghampiriku,
        “kak minta sedekahnya kak" ujar anak itu , anak perempuan berwajah kusam berambut pirang menyodorkan tangannya padaku.
        "tidak, mana ibumu ? tega sekali Ia menyuruhmu mengemis,  pergi sana !" hentakku kasar. Anak perempuan itupun ketakutan. Syaifudin menahanku lalu Ia memanggil anak kecil itu.
        "sini Dik !" panggil Syaifudin
Syaifudin memberinya selembar uang dua ribu
        "untuk apa kau memeberinya uang sedang kau saja membutuhkan uang ?" gerutuku
        "selagi kita punya rezeki bagaimana mungkin aku melihat orang lain kesusahan"

Lagi-lagi sikapku dikalahkan oleh bocah ini. Syaifudin memang benar disaat Ia sedang kesusahan Ia masih sempat menjadikan dirinya berguna untuk orang lain.
        "dimana lahan pertaniannya ?" tanyaku.
        "itu" sahutnya.

Kuhampiri sawah tersebut dan menghampiri pemilik sawah tersebut.
        "pagi pak" sapaku.
        "pagi nak, anda yang mau melakukan riset disini yah ?" tanya si pemilik sawah.
        "betul pak, boleh ?" tanyaku.
        "oh tentu boleh" jawabnya.
Aku tertarik melihat sistem irigasi disini "pak Tatang bagaimana sistem irigasi disini ?" tanyaku penasaran.
"sistem irigasi disini sangat baik, air terus mengalir sehingga pertanian disini dapat melakukan tiga kali panen dalam setahun" ujarnya.
        "wah hebat sekali pak" jawabku dengan heran dan berdecak kagum.
        "ini berkat nak Syaifudin" ujar pak tatang.

Syaifudin ? aku heran apa maunya anak ini seakan dia ingin menunjukan kehebatannya padaku.
        "memang apa yang syaifudin lakukan ?" 
    "Syaifudin yang membuat irigasi ini sedemikian rupa” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Syaifudin.

Hebat sekali Syaifudin, setelah berkeliling sawah aku hendak berdebat kembali dengan Syaifudin. “din bagaimana bisa kau punya ide seperti itu ?” tanyaku penasaran. 
     “dulu sistem perairan kami kacau dan mengakibatkan desa kami kekeringan itu membuatku tergerak untuk melakukan hal ini" jawabnya dengan polos
        "din aku mau tanya menurutmu sukses itu apa ? " tanyaku menguji
      "menurutku sukses itu dimana kita bisa berguna untuk orang lain bang" ujarnya.

Syaifudin menyadarkanku betapa indahnya kerendahan hati. Selama ini sikapku masih salah aku banyak belajar dari perbuatan Syaifudin sejak aku bertemu diterminal hingga saat ini. Seakan-akan aku tak mau kembali, aku ingin tinggal dengan Syaifudin yang telah memberiku pelajaran berharga. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar