Setetes air terjun yang jatuh akankah ia kembali lagi ketebingnya, batinnya terluka oleh kebisingan suara-suara hati yang gamang, diam memaku, risau hendak memutar arah angin
Begitulah sebuah ironi yang hendak disampaikan hati pada logika, yang tertindih oleh pahitnya masa lampau, lalu kau datang dengan membawa angin, angin yang membawa ilalang kemana jatuhnya
Tapi tahukah kau rasanya menutup mulut akan kata yang hendak kau ucapkan, tertahan lalu perlahan menikam semua rasa yang kau simpul menjadi untaian tali asmara
Menyakitkan, bahwasanya aku cemas akan keberadaanmu
aku mencemasi akan hal yang tak perlu bersarang dalam dada, tapi aku telah terjerat oleh pancaran matamu, memacu langkah kaki pun tak bisa aku lepas dari batinmu
Lalu kini bagaimana ? inginku memasang tembok-tembok raksasa dihadapanku agar tak mudah masuk jiwamu kedalam jiwaku, semakin tinggi kupasang semakin deras pula aliran kemunafikan hati ini menghancurkan, aku bagai tali kusir yang kau tarik dengan segenap pesonamu sedang aku tertatih-tatih melawan semua rasa
Dan perihal batu-batu yang kutanam,
Walau bagaimana gagahnya batu karang ia tetap runtuh oleh senyuman manis sang camar yang hendak kembali dikala senja datang
Rasa itu dapat melampaui batas-batas yang kubuat, mengguncang rongga dada, lantas aku hanya menetap pada garis-garis pantai yang mendamba pelukan matahari tenggelam, Karena, Rasa gusar ini sebanding dengan rasa yang telah menjerat sukmaku
Lalu, hendak kemana kita ?
CC : Ilmu Budaya Dasar ; Manusia dan Kegelisahan
Tapi tahukah kau rasanya menutup mulut akan kata yang hendak kau ucapkan, tertahan lalu perlahan menikam semua rasa yang kau simpul menjadi untaian tali asmara
Menyakitkan, bahwasanya aku cemas akan keberadaanmu
aku mencemasi akan hal yang tak perlu bersarang dalam dada, tapi aku telah terjerat oleh pancaran matamu, memacu langkah kaki pun tak bisa aku lepas dari batinmu
Lalu kini bagaimana ? inginku memasang tembok-tembok raksasa dihadapanku agar tak mudah masuk jiwamu kedalam jiwaku, semakin tinggi kupasang semakin deras pula aliran kemunafikan hati ini menghancurkan, aku bagai tali kusir yang kau tarik dengan segenap pesonamu sedang aku tertatih-tatih melawan semua rasa
Dan perihal batu-batu yang kutanam,
Walau bagaimana gagahnya batu karang ia tetap runtuh oleh senyuman manis sang camar yang hendak kembali dikala senja datang
Rasa itu dapat melampaui batas-batas yang kubuat, mengguncang rongga dada, lantas aku hanya menetap pada garis-garis pantai yang mendamba pelukan matahari tenggelam, Karena, Rasa gusar ini sebanding dengan rasa yang telah menjerat sukmaku
Lalu, hendak kemana kita ?
CC : Ilmu Budaya Dasar ; Manusia dan Kegelisahan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar